Di kampung kami ada seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan kenangan. Sedang aku lebih suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.
Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.
Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya.
”Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.
”Lho, tapi Mas, kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.”
Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.”
”Apa cukup semudah itu?”
”Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.”
Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.
Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.
”Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” pintanya.
Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada.
”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis.
”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.”
”Ibumu?”
”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu pergi.
Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.
Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.
Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.
”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?”
”Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.”
”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?”
”Kenapa, emang?” Aku diam.
”Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya.”
Aku diam saja. Terharu.
”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut.”
Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya.
”Lalu bagaimana dengan ibumu?”
”Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu.”
Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.
”Mengapa kamu menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.
”Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.”
”Mulia sekali niatmu.”
”Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.”
”Maksudmu?”
”Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.
”Banyak sekali pesananmu sekarang?”
”Seperti yang kau lihat.”
”Boleh, aku melihatnya?” Dia mengangguk.
Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya.
Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.
Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya?
Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.
Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..!
Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya.
Yogyakarta, 3 April 2011
Sumber : cerpen kompas
Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.
Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya.
”Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.
”Lho, tapi Mas, kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.”
Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.”
”Apa cukup semudah itu?”
”Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.”
Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.
Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.
”Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” pintanya.
Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada.
”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis.
”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.”
”Ibumu?”
”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu pergi.
Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.
Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.
Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.
”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?”
”Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.”
”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?”
”Kenapa, emang?” Aku diam.
”Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya.”
Aku diam saja. Terharu.
”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut.”
Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya.
”Lalu bagaimana dengan ibumu?”
”Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu.”
Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.
”Mengapa kamu menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.
”Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.”
”Mulia sekali niatmu.”
”Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.”
”Maksudmu?”
”Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.
”Banyak sekali pesananmu sekarang?”
”Seperti yang kau lihat.”
”Boleh, aku melihatnya?” Dia mengangguk.
Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya.
Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.
Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya?
Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.
Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..!
Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya.
Yogyakarta, 3 April 2011
Sumber : cerpen kompas
0 comments:
Post a Comment