AGOESSETYADI--Djuyoto Memprediksi Tahun 2015
Indonesia Pecah. BERAGAM reaksi
dan tanggapan muncul ketika
wacana tentang masa depan
Indonesia, yang juga dijadikan judul
buku oleh Djuyoto Suntani, itu
muncul dalam acara Dialog
Kebangsaan berjudul Indonesia:
Kemarin, Kini dan Esok sekaligus
peluncuran buku tersebut.
Komentar bernada pesimis, optimis,
hingga rasa tidak percaya silih
berganti diberikan oleh berbagai
pihak yang hadir di Gedung Aneka
Bhakti Departemen Sosial kemarin.
Mungkinkah Indonesia benar-benar
akan ‘pecah’ pada tahun 2015?
Djuyoto Suntani, sang penulis buku,
menyatakan dalam bukunya
paling tidak ada tujuh faktor utama
yang akan menyebabkan
Indonesia “pecah” menjadi 17
kepingan negeri-negeri kecil di
tahun 2015. Kepingan negeri-
negeri kecil itu sendiri menurutnya
didirikan berdasarkan atas:
1. Kepentingan rimordial
(kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan
bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan
budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan
politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun
negara berdasar agama).
Penyebab pertama adalah siklus
tujuh abad atau 70 tahun. Dalam
bukunya ia menuliskan;
“ Seperti kita ketahui, semua yang
terjadi di alam ini mengikuti suatu
siklus tertentu. Eksistensi suatu
bangsa dan negara juga termasuk
dalam suatu siklus yang berjalan
sesuai dengan ketentuan hukum
alam. Dia mengambil contoh
Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa
pada abad 6-7 M di mana waktu itu
rakyat di kawasan Nusantara
bersatu di bawah
kepemimpinannya. Memasuki usia
ke-70 tahun kerajaan itu mulai
buyar dan muncul banyak
kerajaan kecil yang mandiri
berdaulat. Alhasil, di awal abad
ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya
hanya tinggal sejarah. Tujuh abad
kemudian (abad 13-14 M) lahir
Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Jawa Timur sekarang. Kerajaan
besar itu berhasil menyatukan
kembali penduduk Nusantara.
Namun, kerajaan ini pun bernasib
sama dengan Sriwijaya. Memasuki
usia ke-70 pengaruhnya mulai
hilang dan bermunculanlah
kerajaan-kerajaan kecil di
Nusantara. Nama Majapahit pun
hilang ditelan bumi. Tujuh abad
pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun
1945 (abad 20) rakyat Nusantara
kembali bersatu dalam suatu
ikatan negara bangsa bernama
Republik Indonesia (abad 20-21).
Tahun 2015 akan bertepatan RI
merayakan HUT-nya yang ke-70″.
Dia pun menyatakan,
“ Selama ini saya selalu optimis, tapi
melihat perkembangan di
lapangan, apa yang terjadi pada
sesama anak bangsa, sungguh
mengenaskan. Irama perpolitikan
nasional dewasa ini
mengisyaratkan hitungan siklus
bersatu dan bubar dalam tujuh
abad, 70 tahun tampaknya
kembali terulang. Berbagai
fenomena alam yang menguat ke
arah bukti kebenaran siklus sudah
banyak kita saksikan.
Pertengkaran sesama anak
bangsa, terutama elite politik, tidak
kunjung selesai, tulis Djuyoto.
Penyebab kedua, Indonesia telah
kehilangan figur pemersatu
bangsa. Setelah Ir Soekarno dan
HM Soeharto, tidak ada tokoh
nasional yang benar-benar bisa
mempersatukan bangsa ini.
Masing-masing anak bangsa selalu
merasa paling hebat, paling
mampu, paling pintar, dan paling
benar sendiri. Para tokoh nasional
yang memimpin negeri ini belum
menunjukkan berbagai sosok
negarawan karena dalam
memimpin lebih mengutamakan
kepentingan politik golongan/
kelompok daripada kepentingan
bangsa (rakyat) secara luas.
Kehilangan figur tokoh pemersatu
adalah ancaman paling signifikan
yang membawa negeri ini ke
jurang perpecahan”. Katanya
tegas.
Pertengkaran sesama anak bangsa
yang sama-sama merasa jago dan
hebat, masing-masing punya
kendaraan partai, punya jaringan
internasional, punya dana/uang
mandiri, punya akses, merasa
punya kemampuan jadi Presiden;
merupakan penyebab ketiga
Indonesia akan pecah berkeping-
keping menjadi negara-negara
kecil. Masing-masing tokoh ingin
menjadi nomor satu di suatu
negara. Fenomena ini sudah
menguat sejak era reformasi yang
dimulai dengan diterapkannya UU
Otonomi Daerah.
Salah satu penyebab Indonesia
akan pecah di tahun 2015 karena
adanya konspirasi global. Ada
grand strategy global untuk
menghancurkankeutuhan
Indonesia. Ada skenario tingkat
tinggi yang ingin menghancurkan
Indonesia atau bahkan
menghilangkan nama Indonesia
sebagai negara bangsa, tegasnya.
Konspirasi global ini, Djuyoto
Suntani melihat, terus bergerak dan
bekerja secara cerdas dengan
menggunakan kekuatan canggih
melalui penetrasi budaya,
penyesatan opini, arus investasi,
berbagai tema kampanye indah
seperti demokratisasi, hak asasi
manusia, kesetaraan gender,
modernisasi, kebebasan pers,
kemakmuran, kesejahteraan,
sampai pada mimpi-mimpi indah
lewat bisnis obat-obatan terlarang
dengan segmen generasi muda.
Penyebab utama kelima Indonesia
akan”‘pecah” dalam penilaiannya
adalah faktor nama. Apa yang
salah dengan nama? Ternyata,
nama Indonesia sesungguhnya
berasal dari warisan kolonial
Belanda yakni East-India atau India
Timur alias Hindia Belanda.
Kalangan tokoh politik Belanda
tingkat atas malah sering
menyebut Indonesia dengan
singkatan: In-corporate Do/e-
Netherland in-Asia atau kalau
diartikan secara bebas
nama Indonesia sama dengan
singkatan Perusahaan Belanda
yang berada di Asia. Pemberian
nama Indonesia oleh Belanda
memang memiliki agenda politik
tersembunyi sebab Belanda tidak
rela Indonesia menjadi bangsa dan
negara yang besar. Nama orisinil
kawasan negeri ini yang benar
adalah Nusantara, yang berasal
dari kata Bahasa Sansekerta Nusa
(pulau) dan Antara. Artinya, negara
yang terletak di antara pulau-pulau
terbesar dan terbanyak di dunia
sebab negara kita merupakan
negara kepulauan terbesar di
dunia. Bila para anak bangsa tahun
2015 mampu menyelamatkan
keutuhan negeri ini sebagai satu
bangsa, salah satu opsi adalah
dengan penggantian nama dari
Indonesia menjadi Nusantara.
Nama Nusantara lebih relevan,
orisinil, berasal dari jiwa bumi
sendiri dan lebih membawa
keberuntungan, pesan Djuyoto.
Namun, karena perpecahan sudah
di ujung tanduk, salah satu agenda
dalam membangun komitmen
baru sebagai bangsa dalam
pandangannya adalah dengan cara
(perlu direnungkan) mengganti
nama Indonesia menjadi
Nusantara. Karena, nama memiliki
arti serta memberi berkah
tersendiri. Tidak hanya nama
Indonesia yang bisa menjadi
penyebab negeri ini pecah, nama
Jakarta pun ternyata ikut
berpengaruh terhadap keutuhan
republik ini.
Nama Jakarta, Djuyoto
mengungkapkan, memiliki konotasi
negatif bagi sebagian besar
masyarakat. Bila kita ingin
menyelamatkan Indonesia dari
ancaman perpecahan serta punya
komitmen bersama untuk
membawa negara ini menjadi
negara besar yang dihormati dunia
internasional, maka nama ibukota
negara seyogianya dikembalikan
kepada nama awalnya yaitu
Jayakarta. Nama Jayakarta lebih
tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an
Ibukota negara daripada nama
Jakarta, sarannya.
Penyebab terakhir pecahnya
Indonesia adalah gonjang ganjing
pemilihan Presiden tahun 2014. Dia
menyatakan dalam Pilpres 2009
bisa saja sejumlah tokoh yang
kalah masih mampu
mengendalikan diri tapi gejolak
massa akar rumput yang berasal
dari massa pendukung tidak mau
menerima kekalahan jago
pilihannya. Mereka lalu
mempersiapkan diri untuk maju
bertarung lagi pada Pilpres 2014.
Pilpres 2014 adalah puncak
ledakan dashyat gunung es yang
benar-benar membahayakan
integrasi Indonesia. Menurut
Djuyoto dari informasi yang ia
peroleh di seluruh penjuru Tanah-
Air, indikasi karena gengsi kalah
bersaing dalam Pilpres Indonesia
lantas mengambil keputusan
radikal dengan mendeklarasikan
negara baru bukanlah sekedar
omong kosong tapi akan terbukti.
Pergolakan alam negeri ini seperti
gunung es yang tampak tenang di
permukaan namun setiap saat
pasti meletus dengan dashyat.
Djuyoto Suntani menjelaskan, pada
Pilpres 2014 bakal bermunculan
figur dari berbagai daerah yang
mulai berani bertarung
memperebutkan kursi RI-1 untuk
bersaing dengan tokoh nasional di
Jakarta. Para tokoh daerah sudah
dibekali modal setara dengan para
tokoh nasional di Jakarta. Jika
mereka kalah dalam Pilpres 2014,
karena desakan massa pendukung,
opsi lain adalah mendirikan negara
baru, melepaskan diri dari Jakarta.
Gonjang ganjing Indonesia sebagai
bangsa akan mencapai titik didih
terpanas pada Pilpres 2014. Jika
kita tidak mampu mengendalikan
keutuhan negeri ini, tahun 2015
Indonesia benar-benar pecah. Para
Capres Indonesia 2014 yang gagal
ramai-ramai akan pulang kampung
untuk mendeklarasikan negara
baru. Mereka merasa punya
kemampuan, punya harga diri,
punya uang, punya jaringan dan
punya massa/rakyat pendukung.
Perubahan dan pergolakan politik
nasional pada tahun 2014
diperkirakan bisa lebih dashyat
karena tidak ada lagi figur tokoh
pemersatu yang dihormati dan
diterima oleh seluruh bangsa.
Agar Indonesia tidak pecah, dia
menyerukan seluruh elemen
bangsa untuk bersatu dan bersatu.
Dia berharap seluruh bangsa
menyadari ancaman yang ada di
depan mata dan kemudian saling
bergandengan tangan bersatu
untuk menyelesaikan semua
permasalahan bangsa. Djuyoto
bilang buku ini ditulis sebagai
peringatan dini, sebagai salah satu
wujud untuk berupaya
menyelamatkan Indonesia dari
ancaman kehancuran. Dengan
adanya buku ini diharapkan
semoga anak-anak bangsa mulai
menyadari bahwa hantu Indonesia
pecah sudah berada di depan
mata. Kalau sudah paham,
diharapkan mulai tumbuh
kesadaran dari dalam hati lalu
secara bersama-sama mengambil
langkah untuk mencegah.
ke 17 negara itu antara lain.
1.Naggroe Atjeh Darrusallam :
Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
Indonesia Pecah. BERAGAM reaksi
dan tanggapan muncul ketika
wacana tentang masa depan
Indonesia, yang juga dijadikan judul
buku oleh Djuyoto Suntani, itu
muncul dalam acara Dialog
Kebangsaan berjudul Indonesia:
Kemarin, Kini dan Esok sekaligus
peluncuran buku tersebut.
Komentar bernada pesimis, optimis,
hingga rasa tidak percaya silih
berganti diberikan oleh berbagai
pihak yang hadir di Gedung Aneka
Bhakti Departemen Sosial kemarin.
Mungkinkah Indonesia benar-benar
akan ‘pecah’ pada tahun 2015?
Djuyoto Suntani, sang penulis buku,
menyatakan dalam bukunya
paling tidak ada tujuh faktor utama
yang akan menyebabkan
Indonesia “pecah” menjadi 17
kepingan negeri-negeri kecil di
tahun 2015. Kepingan negeri-
negeri kecil itu sendiri menurutnya
didirikan berdasarkan atas:
1. Kepentingan rimordial
(kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan
bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan
budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan
politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun
negara berdasar agama).
Penyebab pertama adalah siklus
tujuh abad atau 70 tahun. Dalam
bukunya ia menuliskan;
“ Seperti kita ketahui, semua yang
terjadi di alam ini mengikuti suatu
siklus tertentu. Eksistensi suatu
bangsa dan negara juga termasuk
dalam suatu siklus yang berjalan
sesuai dengan ketentuan hukum
alam. Dia mengambil contoh
Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa
pada abad 6-7 M di mana waktu itu
rakyat di kawasan Nusantara
bersatu di bawah
kepemimpinannya. Memasuki usia
ke-70 tahun kerajaan itu mulai
buyar dan muncul banyak
kerajaan kecil yang mandiri
berdaulat. Alhasil, di awal abad
ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya
hanya tinggal sejarah. Tujuh abad
kemudian (abad 13-14 M) lahir
Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Jawa Timur sekarang. Kerajaan
besar itu berhasil menyatukan
kembali penduduk Nusantara.
Namun, kerajaan ini pun bernasib
sama dengan Sriwijaya. Memasuki
usia ke-70 pengaruhnya mulai
hilang dan bermunculanlah
kerajaan-kerajaan kecil di
Nusantara. Nama Majapahit pun
hilang ditelan bumi. Tujuh abad
pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun
1945 (abad 20) rakyat Nusantara
kembali bersatu dalam suatu
ikatan negara bangsa bernama
Republik Indonesia (abad 20-21).
Tahun 2015 akan bertepatan RI
merayakan HUT-nya yang ke-70″.
Dia pun menyatakan,
“ Selama ini saya selalu optimis, tapi
melihat perkembangan di
lapangan, apa yang terjadi pada
sesama anak bangsa, sungguh
mengenaskan. Irama perpolitikan
nasional dewasa ini
mengisyaratkan hitungan siklus
bersatu dan bubar dalam tujuh
abad, 70 tahun tampaknya
kembali terulang. Berbagai
fenomena alam yang menguat ke
arah bukti kebenaran siklus sudah
banyak kita saksikan.
Pertengkaran sesama anak
bangsa, terutama elite politik, tidak
kunjung selesai, tulis Djuyoto.
Penyebab kedua, Indonesia telah
kehilangan figur pemersatu
bangsa. Setelah Ir Soekarno dan
HM Soeharto, tidak ada tokoh
nasional yang benar-benar bisa
mempersatukan bangsa ini.
Masing-masing anak bangsa selalu
merasa paling hebat, paling
mampu, paling pintar, dan paling
benar sendiri. Para tokoh nasional
yang memimpin negeri ini belum
menunjukkan berbagai sosok
negarawan karena dalam
memimpin lebih mengutamakan
kepentingan politik golongan/
kelompok daripada kepentingan
bangsa (rakyat) secara luas.
Kehilangan figur tokoh pemersatu
adalah ancaman paling signifikan
yang membawa negeri ini ke
jurang perpecahan”. Katanya
tegas.
Pertengkaran sesama anak bangsa
yang sama-sama merasa jago dan
hebat, masing-masing punya
kendaraan partai, punya jaringan
internasional, punya dana/uang
mandiri, punya akses, merasa
punya kemampuan jadi Presiden;
merupakan penyebab ketiga
Indonesia akan pecah berkeping-
keping menjadi negara-negara
kecil. Masing-masing tokoh ingin
menjadi nomor satu di suatu
negara. Fenomena ini sudah
menguat sejak era reformasi yang
dimulai dengan diterapkannya UU
Otonomi Daerah.
Salah satu penyebab Indonesia
akan pecah di tahun 2015 karena
adanya konspirasi global. Ada
grand strategy global untuk
menghancurkankeutuhan
Indonesia. Ada skenario tingkat
tinggi yang ingin menghancurkan
Indonesia atau bahkan
menghilangkan nama Indonesia
sebagai negara bangsa, tegasnya.
Konspirasi global ini, Djuyoto
Suntani melihat, terus bergerak dan
bekerja secara cerdas dengan
menggunakan kekuatan canggih
melalui penetrasi budaya,
penyesatan opini, arus investasi,
berbagai tema kampanye indah
seperti demokratisasi, hak asasi
manusia, kesetaraan gender,
modernisasi, kebebasan pers,
kemakmuran, kesejahteraan,
sampai pada mimpi-mimpi indah
lewat bisnis obat-obatan terlarang
dengan segmen generasi muda.
Penyebab utama kelima Indonesia
akan”‘pecah” dalam penilaiannya
adalah faktor nama. Apa yang
salah dengan nama? Ternyata,
nama Indonesia sesungguhnya
berasal dari warisan kolonial
Belanda yakni East-India atau India
Timur alias Hindia Belanda.
Kalangan tokoh politik Belanda
tingkat atas malah sering
menyebut Indonesia dengan
singkatan: In-corporate Do/e-
Netherland in-Asia atau kalau
diartikan secara bebas
nama Indonesia sama dengan
singkatan Perusahaan Belanda
yang berada di Asia. Pemberian
nama Indonesia oleh Belanda
memang memiliki agenda politik
tersembunyi sebab Belanda tidak
rela Indonesia menjadi bangsa dan
negara yang besar. Nama orisinil
kawasan negeri ini yang benar
adalah Nusantara, yang berasal
dari kata Bahasa Sansekerta Nusa
(pulau) dan Antara. Artinya, negara
yang terletak di antara pulau-pulau
terbesar dan terbanyak di dunia
sebab negara kita merupakan
negara kepulauan terbesar di
dunia. Bila para anak bangsa tahun
2015 mampu menyelamatkan
keutuhan negeri ini sebagai satu
bangsa, salah satu opsi adalah
dengan penggantian nama dari
Indonesia menjadi Nusantara.
Nama Nusantara lebih relevan,
orisinil, berasal dari jiwa bumi
sendiri dan lebih membawa
keberuntungan, pesan Djuyoto.
Namun, karena perpecahan sudah
di ujung tanduk, salah satu agenda
dalam membangun komitmen
baru sebagai bangsa dalam
pandangannya adalah dengan cara
(perlu direnungkan) mengganti
nama Indonesia menjadi
Nusantara. Karena, nama memiliki
arti serta memberi berkah
tersendiri. Tidak hanya nama
Indonesia yang bisa menjadi
penyebab negeri ini pecah, nama
Jakarta pun ternyata ikut
berpengaruh terhadap keutuhan
republik ini.
Nama Jakarta, Djuyoto
mengungkapkan, memiliki konotasi
negatif bagi sebagian besar
masyarakat. Bila kita ingin
menyelamatkan Indonesia dari
ancaman perpecahan serta punya
komitmen bersama untuk
membawa negara ini menjadi
negara besar yang dihormati dunia
internasional, maka nama ibukota
negara seyogianya dikembalikan
kepada nama awalnya yaitu
Jayakarta. Nama Jayakarta lebih
tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an
Ibukota negara daripada nama
Jakarta, sarannya.
Penyebab terakhir pecahnya
Indonesia adalah gonjang ganjing
pemilihan Presiden tahun 2014. Dia
menyatakan dalam Pilpres 2009
bisa saja sejumlah tokoh yang
kalah masih mampu
mengendalikan diri tapi gejolak
massa akar rumput yang berasal
dari massa pendukung tidak mau
menerima kekalahan jago
pilihannya. Mereka lalu
mempersiapkan diri untuk maju
bertarung lagi pada Pilpres 2014.
Pilpres 2014 adalah puncak
ledakan dashyat gunung es yang
benar-benar membahayakan
integrasi Indonesia. Menurut
Djuyoto dari informasi yang ia
peroleh di seluruh penjuru Tanah-
Air, indikasi karena gengsi kalah
bersaing dalam Pilpres Indonesia
lantas mengambil keputusan
radikal dengan mendeklarasikan
negara baru bukanlah sekedar
omong kosong tapi akan terbukti.
Pergolakan alam negeri ini seperti
gunung es yang tampak tenang di
permukaan namun setiap saat
pasti meletus dengan dashyat.
Djuyoto Suntani menjelaskan, pada
Pilpres 2014 bakal bermunculan
figur dari berbagai daerah yang
mulai berani bertarung
memperebutkan kursi RI-1 untuk
bersaing dengan tokoh nasional di
Jakarta. Para tokoh daerah sudah
dibekali modal setara dengan para
tokoh nasional di Jakarta. Jika
mereka kalah dalam Pilpres 2014,
karena desakan massa pendukung,
opsi lain adalah mendirikan negara
baru, melepaskan diri dari Jakarta.
Gonjang ganjing Indonesia sebagai
bangsa akan mencapai titik didih
terpanas pada Pilpres 2014. Jika
kita tidak mampu mengendalikan
keutuhan negeri ini, tahun 2015
Indonesia benar-benar pecah. Para
Capres Indonesia 2014 yang gagal
ramai-ramai akan pulang kampung
untuk mendeklarasikan negara
baru. Mereka merasa punya
kemampuan, punya harga diri,
punya uang, punya jaringan dan
punya massa/rakyat pendukung.
Perubahan dan pergolakan politik
nasional pada tahun 2014
diperkirakan bisa lebih dashyat
karena tidak ada lagi figur tokoh
pemersatu yang dihormati dan
diterima oleh seluruh bangsa.
Agar Indonesia tidak pecah, dia
menyerukan seluruh elemen
bangsa untuk bersatu dan bersatu.
Dia berharap seluruh bangsa
menyadari ancaman yang ada di
depan mata dan kemudian saling
bergandengan tangan bersatu
untuk menyelesaikan semua
permasalahan bangsa. Djuyoto
bilang buku ini ditulis sebagai
peringatan dini, sebagai salah satu
wujud untuk berupaya
menyelamatkan Indonesia dari
ancaman kehancuran. Dengan
adanya buku ini diharapkan
semoga anak-anak bangsa mulai
menyadari bahwa hantu Indonesia
pecah sudah berada di depan
mata. Kalau sudah paham,
diharapkan mulai tumbuh
kesadaran dari dalam hati lalu
secara bersama-sama mengambil
langkah untuk mencegah.
ke 17 negara itu antara lain.
1.Naggroe Atjeh Darrusallam :
Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
0 comments:
Post a Comment