Abū ʿAbdullāh Muhammad bin
Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad
bin Idris asy-Syafi`i (bahasa
Arab: محمد بن إدريس الشافعي ) yang
akrab dipanggil Imam Syafi'i
(Gaza, Palestina, 150 H / 767 -
Fusthat, Mesir 204H / 819M)
adalah seorang mufti besar
Sunni Islam dan juga pendiri
mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga
tergolong kerabat dari
Rasulullah, ia termasuk dalam
Bani Muththalib, yaitu keturunan
dari al-Muththalib, saudara dari
Hasyim, yang merupakan kakek
Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i
pergi ke Madinah untuk berguru
kepada ulama besar saat itu,
Imam Malik. Dua tahun
kemudian, ia juga pergi ke Irak,
untuk berguru pada murid-
murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua
dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi'i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan
keluarga
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah
berpendapat bahwa Imam Syafi'i
lahir di Gaza, Palestina, namun
diantara pendapat ini terdapat
pula yang menyatakan bahwa
dia lahir di Asqalan; sebuah kota
yang berjarak sekitar tiga
farsakh dari Gaza. Menurut para
ahli sejarah pula, Imam Syafi'i
lahir pada tahun 150 H, yang
mana pada tahun ini wafat pula
seorang ulama besar Sunni yang
bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam Syafi'i merupakan
keturunan dari al-Muththalib, jadi
dia termasuk ke dalam Bani
Muththalib. Nasab Beliau adalah
Muhammad bin Idris bin Al-
Abbas bin Utsman bin Syafi ’ bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid
bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin
Ma ’ad bin Adnan. Nasabnya
bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib
bin Abdi Manaf, kakek
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim
bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim,
kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa ’,
dinikahi oleh Ubaid bin Abdi
Yazid, sehingga melahirkan anak
bernama As-Sa ’ib, ayahnya Syafi’.
Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib
radliyallahu `anhuma inilah bayi
yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal
dengan nama Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini
sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi
Manaf, yang kemudian
melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan
Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
“ “Hanyalah kami
(yakni Bani Hasyim)
dengan mereka
(yakni Bani
Mutthalib) berasal
dari satu nasab.
Sambil beliau
menyilang-
nyilangkan jari
jemari kedua
tangan
beliau. ” (HR. Abu
Nu’aim Al-Asfahani
dalam Hilyah nya
juz 9 hal. 65 - 66). ”
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i
meninggal dan dua tahun
kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah
air nenek moyang. Ia tumbuh
besar di sana dalam keadaan
yatim. Sejak kecil Syafi ’i cepat
menghafal syair, pandai bahasa
Arab dan sastra sampai-sampai
Al Ashma ’i berkata,”Saya
mentashih syair-syair bani
Hudzail dari seorang pemuda
dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris, ” Imam
Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru
fiqh kepada mufti di sana, Muslim
bin Khalid Az Zanji sehingga ia
mengizinkannya memberi
fatwah ketika masih berusia 15
tahun. Demi ia merasakan
manisnya ilmu, maka dengan
taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam
bahasa Arab dan sya ’irnya.
Remaja yatim ini belajar fiqih dari
para Ulama ’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid
Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti
Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-
Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi ’, dan
juga menimba ilmu dari Sufyan
bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih
ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Sa ’id bin Salim, Fudhail
bin Al-Ayyadl dan masih banyak
lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang
fiqih hanya dalam beberapa
tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama ’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke
Madinah dan berguru fiqh
kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha ’ kepada
Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi ’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan
bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi ’
dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim
tersebut menghapal dan
memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-
Muwattha ’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu
As-Syafi`ie sendiri sangat
terkesan dan sangat mengagumi
Imam Malik di Al-Madinah dan
Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi
Imam dengan pernyataannya
yang terkenal berbunyi:
“ Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah,
niscaya akan hilanglah ilmu dari
Hijaz. ” Juga beliau menyatakan
lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang
Imam Malik di suatu majelis,
maka Malik menjadi bintang di
majelis itu. ” Beliau juga sangat
terkesan dengan kitab Al-
Muwattha ’ Imam Malik sehingga
beliau menyatakan: “Tidak ada
kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur ’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak
membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah
pemahamanku. ”
Dari berbagai pernyataan beliau
di atas dapatlah diketahui bahwa
guru yang paling beliau kagumi
adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda
ini juga duduk menghafal dan
memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa ’ad, Isma’il bin
Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul
Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak
pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya.
Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah
pendusta dalam meriwayatkan
hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya.
Sehingga ketika pemuda Quraisy
ini telah terkenal dengan gelar
sebagai Imam Syafi`ie, khususnya
di akhir hayat beliau, beliau tidak
mau lagi menyebut nama
Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke
Yaman dan bekerja sebentar di
sana. Disebutkanlah sederet
Ulama ’ Yaman yang didatangi
oleh beliau ini seperti: Mutharrif
bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-
Qadli dan banyak lagi yang
lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke
kota Baghdad di Iraq dan di kota
ini beliau banyak mengambil ilmu
dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq.
Juga beliau mengambil ilmu dari
Isma ’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad
(183 dan tahun 195), di sana ia
menimba ilmu dari Muhammad
bin Hasan. Ia memiliki tukar
pikiran yang menjadikan Khalifah
Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan
Ahmad bin Hanbal di Mekah
tahun 187 H dan di Baghdad
tahun 195 H. Dari Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Syafi ’i menimba
ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan
mansukhnya. Di Baghdad, Imam
Syafi ’i menulis madzhab lamanya
(madzhab qodim). Kemudian
beliu pindah ke Mesir tahun 200
H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau
wafat sebagai syuhadaul ilm di
akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah
“ Ar Risalah” buku pertama
tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab
fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i
adalah seorang mujtahid mutlak,
imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia
mampu memadukan fiqh ahli
Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam
Ahmad berkata tentang Imam
Syafi ’i,”Beliau adalah orang yang
paling faqih dalam Al Quran dan
As Sunnah, ” “Tidak seorang pun
yang pernah memegang pena
dan tinta (ilmu) melainkan Allah
memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di
Miftahus sa ’adah,”Ulama ahli fiqh,
ushul, hadits, bahasa, nahwu,
dan disiplin ilmu lainnya sepakat
bahwa Syafi ’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adaalah
(kredibilitas agama dan moral),
zuhud, wara ’, takwa, dermawan,
tingkah lakunya yang baik,
derajatnya yang tinggi. Orang
yang banyak menyebutkan
perjalanan hidupnya saja masih
kurang lengkap, ”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran,
Sunnah, Ijma ’ dan Qiyas. Beliau
juga tidak mengambil Istihsan
(menganggap baik suatu
masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah
mursalah, perbuatan penduduk
Madinah. Imam Syafi ’i
mengatakan,”Barangsiapa yang
melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat, ”. Penduduk
Baghdad mengatakan,”Imam
Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang
merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam
Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu
Tsaur, Za ’farani, Al Karabisyi dari
Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm”
sebagai madzhab yang baru
Imam Syafi ’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani,
Al Buwaithi, Ar Rabi ’ Jizii bin
Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang
madzhabnya, ”Jika sebuah hadits
shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia (hadis)
adalah madzhabku, dan
buanglah perkataanku di
belakang tembok, ”
Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad
bin Idris asy-Syafi`i (bahasa
Arab: محمد بن إدريس الشافعي ) yang
akrab dipanggil Imam Syafi'i
(Gaza, Palestina, 150 H / 767 -
Fusthat, Mesir 204H / 819M)
adalah seorang mufti besar
Sunni Islam dan juga pendiri
mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga
tergolong kerabat dari
Rasulullah, ia termasuk dalam
Bani Muththalib, yaitu keturunan
dari al-Muththalib, saudara dari
Hasyim, yang merupakan kakek
Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i
pergi ke Madinah untuk berguru
kepada ulama besar saat itu,
Imam Malik. Dua tahun
kemudian, ia juga pergi ke Irak,
untuk berguru pada murid-
murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua
dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi'i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan
keluarga
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah
berpendapat bahwa Imam Syafi'i
lahir di Gaza, Palestina, namun
diantara pendapat ini terdapat
pula yang menyatakan bahwa
dia lahir di Asqalan; sebuah kota
yang berjarak sekitar tiga
farsakh dari Gaza. Menurut para
ahli sejarah pula, Imam Syafi'i
lahir pada tahun 150 H, yang
mana pada tahun ini wafat pula
seorang ulama besar Sunni yang
bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam Syafi'i merupakan
keturunan dari al-Muththalib, jadi
dia termasuk ke dalam Bani
Muththalib. Nasab Beliau adalah
Muhammad bin Idris bin Al-
Abbas bin Utsman bin Syafi ’ bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid
bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin
Ma ’ad bin Adnan. Nasabnya
bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib
bin Abdi Manaf, kakek
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim
bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim,
kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa ’,
dinikahi oleh Ubaid bin Abdi
Yazid, sehingga melahirkan anak
bernama As-Sa ’ib, ayahnya Syafi’.
Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib
radliyallahu `anhuma inilah bayi
yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal
dengan nama Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini
sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi
Manaf, yang kemudian
melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan
Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
“ “Hanyalah kami
(yakni Bani Hasyim)
dengan mereka
(yakni Bani
Mutthalib) berasal
dari satu nasab.
Sambil beliau
menyilang-
nyilangkan jari
jemari kedua
tangan
beliau. ” (HR. Abu
Nu’aim Al-Asfahani
dalam Hilyah nya
juz 9 hal. 65 - 66). ”
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i
meninggal dan dua tahun
kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah
air nenek moyang. Ia tumbuh
besar di sana dalam keadaan
yatim. Sejak kecil Syafi ’i cepat
menghafal syair, pandai bahasa
Arab dan sastra sampai-sampai
Al Ashma ’i berkata,”Saya
mentashih syair-syair bani
Hudzail dari seorang pemuda
dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris, ” Imam
Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru
fiqh kepada mufti di sana, Muslim
bin Khalid Az Zanji sehingga ia
mengizinkannya memberi
fatwah ketika masih berusia 15
tahun. Demi ia merasakan
manisnya ilmu, maka dengan
taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam
bahasa Arab dan sya ’irnya.
Remaja yatim ini belajar fiqih dari
para Ulama ’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid
Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti
Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-
Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi ’, dan
juga menimba ilmu dari Sufyan
bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih
ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Sa ’id bin Salim, Fudhail
bin Al-Ayyadl dan masih banyak
lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang
fiqih hanya dalam beberapa
tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama ’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke
Madinah dan berguru fiqh
kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha ’ kepada
Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi ’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan
bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi ’
dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim
tersebut menghapal dan
memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-
Muwattha ’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu
As-Syafi`ie sendiri sangat
terkesan dan sangat mengagumi
Imam Malik di Al-Madinah dan
Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi
Imam dengan pernyataannya
yang terkenal berbunyi:
“ Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah,
niscaya akan hilanglah ilmu dari
Hijaz. ” Juga beliau menyatakan
lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang
Imam Malik di suatu majelis,
maka Malik menjadi bintang di
majelis itu. ” Beliau juga sangat
terkesan dengan kitab Al-
Muwattha ’ Imam Malik sehingga
beliau menyatakan: “Tidak ada
kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur ’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak
membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah
pemahamanku. ”
Dari berbagai pernyataan beliau
di atas dapatlah diketahui bahwa
guru yang paling beliau kagumi
adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda
ini juga duduk menghafal dan
memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa ’ad, Isma’il bin
Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul
Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak
pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya.
Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah
pendusta dalam meriwayatkan
hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya.
Sehingga ketika pemuda Quraisy
ini telah terkenal dengan gelar
sebagai Imam Syafi`ie, khususnya
di akhir hayat beliau, beliau tidak
mau lagi menyebut nama
Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke
Yaman dan bekerja sebentar di
sana. Disebutkanlah sederet
Ulama ’ Yaman yang didatangi
oleh beliau ini seperti: Mutharrif
bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-
Qadli dan banyak lagi yang
lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke
kota Baghdad di Iraq dan di kota
ini beliau banyak mengambil ilmu
dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq.
Juga beliau mengambil ilmu dari
Isma ’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad
(183 dan tahun 195), di sana ia
menimba ilmu dari Muhammad
bin Hasan. Ia memiliki tukar
pikiran yang menjadikan Khalifah
Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan
Ahmad bin Hanbal di Mekah
tahun 187 H dan di Baghdad
tahun 195 H. Dari Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Syafi ’i menimba
ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan
mansukhnya. Di Baghdad, Imam
Syafi ’i menulis madzhab lamanya
(madzhab qodim). Kemudian
beliu pindah ke Mesir tahun 200
H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau
wafat sebagai syuhadaul ilm di
akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah
“ Ar Risalah” buku pertama
tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab
fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i
adalah seorang mujtahid mutlak,
imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia
mampu memadukan fiqh ahli
Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam
Ahmad berkata tentang Imam
Syafi ’i,”Beliau adalah orang yang
paling faqih dalam Al Quran dan
As Sunnah, ” “Tidak seorang pun
yang pernah memegang pena
dan tinta (ilmu) melainkan Allah
memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di
Miftahus sa ’adah,”Ulama ahli fiqh,
ushul, hadits, bahasa, nahwu,
dan disiplin ilmu lainnya sepakat
bahwa Syafi ’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adaalah
(kredibilitas agama dan moral),
zuhud, wara ’, takwa, dermawan,
tingkah lakunya yang baik,
derajatnya yang tinggi. Orang
yang banyak menyebutkan
perjalanan hidupnya saja masih
kurang lengkap, ”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran,
Sunnah, Ijma ’ dan Qiyas. Beliau
juga tidak mengambil Istihsan
(menganggap baik suatu
masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah
mursalah, perbuatan penduduk
Madinah. Imam Syafi ’i
mengatakan,”Barangsiapa yang
melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat, ”. Penduduk
Baghdad mengatakan,”Imam
Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang
merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam
Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu
Tsaur, Za ’farani, Al Karabisyi dari
Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm”
sebagai madzhab yang baru
Imam Syafi ’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani,
Al Buwaithi, Ar Rabi ’ Jizii bin
Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang
madzhabnya, ”Jika sebuah hadits
shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia (hadis)
adalah madzhabku, dan
buanglah perkataanku di
belakang tembok, ”
0 comments:
Post a Comment