BERAPA persen identitas Aceh masih tersisa hingga hari ini? Identitas Aceh sekarang ini patut, penting, serta urgen untuk dipertanyakan. Bahkan kini di era otonomi khusus pun, tingkat kesadaran kita masyarakat Aceh terhadap identitas kolektif masih sangat kecil. Kalau keadaan ini terus berlanjut, bukan tak mungkin, Aceh akan tinggal nama, tanpa mampu lagi menunjukkan atribut-atribut pentingnya yang masih kita punya. Cermatilah identitas Aceh dalam bahasanya. Kalau mau disadari, bahasa Aceh kini semakin terimpit oleh hegemoni bahasa nasional dan internasional. Jujur harus diakui bahwa meskipun masih banyak orang Aceh yang mampu menggunakan bahasa Aceh dalam berbicara, kiranya hanya sedikit yang mampu menulisnya secara benar. Bahkan, dari kalangan orang asli Aceh sendiri sudah ada indikasi bahwa tidak sedikit yang malu menggunakan bahasa Aceh. Sebaliknya, menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia merasa super, bangga, atau merasa dari kelas masyarakat yang lebih tinggi.
Hal ini persis seperti apa yang terjadi pada bahasa Gallo di Brittany, Perancis. Pada awalnya Gallo digeser oleh bahasa Britton sejak kedatangan imigran Bretton cara besar-besaran. Kemudian, ketika Brittany dikuasai Perancis dan dijadikan salah satu provinsinya, bahasa Perancis disahkan sebagai bahasa resmi di daerah tersebut. Gallo juga menjadi terimpit. Lantas, muncul fenomena bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Gallo dianggap orang-orang dari kelas kampungan, inferior, tak terdidik dan sejenisnya. Sedangkan orang-orang yang menggunakan bahasa French (Perancis) dianggap superior. Akibat hegemoni seperti ini dan sikap masyarakatnya, bahasa Gallo menjadi jarang digunakan dan kemungkinan akan segera punah. Padahal bahasa merupakan representasi dari identitas suatu bangsa, kata Stuart Hall (1997) dalam bukunya Representation: Cultural representations and signifying practices.Lantas, jika suatu saat bahasa Aceh punah, bangsa apa yang akan ditunjukkan kepada generasi kita pada saat itu?
Kemungkinan kepunahan bahasa Aceh kini semakin jelas kalau ditelisik dari beberapa fenomena. Meskipun di era otonomi khusus, Pemerintah daerah atau perguruan tinggi pun sepertinya belum menunjukkan kepeduliannya (yang tinggi) terhadap bahasa Aceh.Contoh paling jelas adalah sampai hari ini belum ada satu kampus pun di Aceh yang membuka jurusan bahasa dan sastra Aceh. Pemerintah pun belum mengeluarkan kebijakan khusus tentang Bahasa Aceh. Akibatnya, karya-karya tentang bahasa Aceh dan pengembangannya sangat sedikit atau terbatas pada beberapa logat saja. Kita sibuk mengembangkan bahasa-bahasa lain, tetapi mengabaikan perkembangan bahasa sendiri. Dengan kata lain, secara tidak langsung, kita di Aceh telah ikut mempertahankan hegemoni bahasa lain dan mengancam keberlangsungan bahasa sendiri. Yang meneliti tentang bahasa Aceh pun sangat sedikit. Anehnya, hanya beberapa pakar bahasa, termasuk yang dari luar negeri seperti dari Belanda dan Australia, yang telah meneliti tentang bahasa Aceh. Buku atau hasil penelitiannya sangat sedikit. Akibatnya, ketika ada orang yang ingin meneliti tentang logat suatu bahasa Aceh, ia harus menggunakan beberapa rujukan hasil karangan atau penelitian dari pengarang atau peneliti luar negeri seperti dari Australia.
Masyarakat pun sudah enggan memberikan nama anak-anaknya dengan nama-nama yang umumnya dipakai masyarakat Aceh. Akibatnya, kita sekarang tak mudah lagi menentukan apakah seseorang itu orang Aceh atau bukan, kecuali yang namanya diawali Teuku atau Cut. Namun, yang menggunakan nama Teuku atau Cut tentunya hanya beberapa orang saja. Bukan hanya nama orang, nama-nama benda lain pun sudah sangat jarang ditulis dalam bahasa Aceh, meskipun dalam kawasan Aceh sendiri. Dalam hal ini, kita patut berterima kasih kepada pihak yang telah memomulerkan nama Kupi Ulee Kareng, sehingga salah satu nama khas Aceh terselematkan. Menurut para ahli, bergantinya nama-nama bahasa untuk benda-benda dalam daerah kita sendiri menunjukkan bahwa kita sedang terjajah; karena banyak identitas kita tak mampu atau malu kita tunjukkan dalam bahasa kita sendiri.
Pada tempat-tempat resmi tertentu, malah banyak orang lebih suka menggunakan nama-nama dalam bahasa Inggris, tetapi tidak menambahnya dalam bahasa Aceh, termasuk juga pada mobil-mobil yang digunakan pemerintah, seperti tulisan “Quick Rescue”. Padahal belum tentu semua masyarakat pengguna jasanya paham maknanya, sehingga makna yang disampaikan oleh tulisan tersebut akan berkurang. Lagi pula, belum pernah ada buku petunjuk yang disebarkan ke setiap rumah penduduk tentang panggilan-panggilan darurat yang berguna bagi masyarakat yang sedang mengalami darurat, seperti kebakaran, perampokan, dan lain-lain. Kalau ada koran dalam bahasa Aceh, mungkin banyak orang Aceh akan malas membacanya. Mungkin ini suatu keadaan bahwa kita di Aceh sudah hanyut dalam hegemoni bahasa lain. Padahal menurut Paulo Freire, media termasuk alat yang efektif untuk menjaga kesadaran dan mempertahankan identitas dari identitas dominan (Fishman & McCarthy, 2007).
Menurut para pakar seperti Stuart Hall (1997), bahasa adalah alat yang sangat penting untuk merepresentasikan pikiran, gagasan, dan perasaan dalam suatu budaya. Representasi dalam bahasa menjadi proses sentral dalam membentuk makna dalam budaya tersebut, yaitu makna memberikan rasa terhadap identitas kita. Hall juga mengingatkan tentang adanya perbedaan cara menyampaikan makna dengan bahasa dalam suatu budaya dengan bahasa dalam budaya lain. Hal ini semakin jelas manakala kita menyampaikan makna daun pisang kering, misalnya, dalam bahasa Aceh dan dalam bahasa Indonesia. Tentunya tidak semua tersampaikan atau terwakilkan dengan tepat, baik dalam pengucapannya maupun objeknya. Misalnya, daun kelapa kering dengan daun pisang kering, walau dalam bahasa Indonesia cukup hanya menggunakan kata “kering”, berbeda sekali bahasa, rasa, dan cara mengucapkannya.Dengan demikian, bila bahasa Aceh hilang, bagi orang Aceh akan banyak kehilangan.
Untungnya sekarang telah muncul sejumlah aktivis yang mencoba berjuang agar bahasa Gallo tidak punah. Lalu, bagaimana dengan Bahasa Aceh, akan munculkah para aktivis yang setia kepada bahasa ibunya?
* Jarjani Usman adalah mahasiswa program PhD Deakin University, Australia. Dosen IAIN Ar-Raniry.
sumber :serambi
Hal ini persis seperti apa yang terjadi pada bahasa Gallo di Brittany, Perancis. Pada awalnya Gallo digeser oleh bahasa Britton sejak kedatangan imigran Bretton cara besar-besaran. Kemudian, ketika Brittany dikuasai Perancis dan dijadikan salah satu provinsinya, bahasa Perancis disahkan sebagai bahasa resmi di daerah tersebut. Gallo juga menjadi terimpit. Lantas, muncul fenomena bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Gallo dianggap orang-orang dari kelas kampungan, inferior, tak terdidik dan sejenisnya. Sedangkan orang-orang yang menggunakan bahasa French (Perancis) dianggap superior. Akibat hegemoni seperti ini dan sikap masyarakatnya, bahasa Gallo menjadi jarang digunakan dan kemungkinan akan segera punah. Padahal bahasa merupakan representasi dari identitas suatu bangsa, kata Stuart Hall (1997) dalam bukunya Representation: Cultural representations and signifying practices.Lantas, jika suatu saat bahasa Aceh punah, bangsa apa yang akan ditunjukkan kepada generasi kita pada saat itu?
Kemungkinan kepunahan bahasa Aceh kini semakin jelas kalau ditelisik dari beberapa fenomena. Meskipun di era otonomi khusus, Pemerintah daerah atau perguruan tinggi pun sepertinya belum menunjukkan kepeduliannya (yang tinggi) terhadap bahasa Aceh.Contoh paling jelas adalah sampai hari ini belum ada satu kampus pun di Aceh yang membuka jurusan bahasa dan sastra Aceh. Pemerintah pun belum mengeluarkan kebijakan khusus tentang Bahasa Aceh. Akibatnya, karya-karya tentang bahasa Aceh dan pengembangannya sangat sedikit atau terbatas pada beberapa logat saja. Kita sibuk mengembangkan bahasa-bahasa lain, tetapi mengabaikan perkembangan bahasa sendiri. Dengan kata lain, secara tidak langsung, kita di Aceh telah ikut mempertahankan hegemoni bahasa lain dan mengancam keberlangsungan bahasa sendiri. Yang meneliti tentang bahasa Aceh pun sangat sedikit. Anehnya, hanya beberapa pakar bahasa, termasuk yang dari luar negeri seperti dari Belanda dan Australia, yang telah meneliti tentang bahasa Aceh. Buku atau hasil penelitiannya sangat sedikit. Akibatnya, ketika ada orang yang ingin meneliti tentang logat suatu bahasa Aceh, ia harus menggunakan beberapa rujukan hasil karangan atau penelitian dari pengarang atau peneliti luar negeri seperti dari Australia.
Masyarakat pun sudah enggan memberikan nama anak-anaknya dengan nama-nama yang umumnya dipakai masyarakat Aceh. Akibatnya, kita sekarang tak mudah lagi menentukan apakah seseorang itu orang Aceh atau bukan, kecuali yang namanya diawali Teuku atau Cut. Namun, yang menggunakan nama Teuku atau Cut tentunya hanya beberapa orang saja. Bukan hanya nama orang, nama-nama benda lain pun sudah sangat jarang ditulis dalam bahasa Aceh, meskipun dalam kawasan Aceh sendiri. Dalam hal ini, kita patut berterima kasih kepada pihak yang telah memomulerkan nama Kupi Ulee Kareng, sehingga salah satu nama khas Aceh terselematkan. Menurut para ahli, bergantinya nama-nama bahasa untuk benda-benda dalam daerah kita sendiri menunjukkan bahwa kita sedang terjajah; karena banyak identitas kita tak mampu atau malu kita tunjukkan dalam bahasa kita sendiri.
Pada tempat-tempat resmi tertentu, malah banyak orang lebih suka menggunakan nama-nama dalam bahasa Inggris, tetapi tidak menambahnya dalam bahasa Aceh, termasuk juga pada mobil-mobil yang digunakan pemerintah, seperti tulisan “Quick Rescue”. Padahal belum tentu semua masyarakat pengguna jasanya paham maknanya, sehingga makna yang disampaikan oleh tulisan tersebut akan berkurang. Lagi pula, belum pernah ada buku petunjuk yang disebarkan ke setiap rumah penduduk tentang panggilan-panggilan darurat yang berguna bagi masyarakat yang sedang mengalami darurat, seperti kebakaran, perampokan, dan lain-lain. Kalau ada koran dalam bahasa Aceh, mungkin banyak orang Aceh akan malas membacanya. Mungkin ini suatu keadaan bahwa kita di Aceh sudah hanyut dalam hegemoni bahasa lain. Padahal menurut Paulo Freire, media termasuk alat yang efektif untuk menjaga kesadaran dan mempertahankan identitas dari identitas dominan (Fishman & McCarthy, 2007).
Menurut para pakar seperti Stuart Hall (1997), bahasa adalah alat yang sangat penting untuk merepresentasikan pikiran, gagasan, dan perasaan dalam suatu budaya. Representasi dalam bahasa menjadi proses sentral dalam membentuk makna dalam budaya tersebut, yaitu makna memberikan rasa terhadap identitas kita. Hall juga mengingatkan tentang adanya perbedaan cara menyampaikan makna dengan bahasa dalam suatu budaya dengan bahasa dalam budaya lain. Hal ini semakin jelas manakala kita menyampaikan makna daun pisang kering, misalnya, dalam bahasa Aceh dan dalam bahasa Indonesia. Tentunya tidak semua tersampaikan atau terwakilkan dengan tepat, baik dalam pengucapannya maupun objeknya. Misalnya, daun kelapa kering dengan daun pisang kering, walau dalam bahasa Indonesia cukup hanya menggunakan kata “kering”, berbeda sekali bahasa, rasa, dan cara mengucapkannya.Dengan demikian, bila bahasa Aceh hilang, bagi orang Aceh akan banyak kehilangan.
Untungnya sekarang telah muncul sejumlah aktivis yang mencoba berjuang agar bahasa Gallo tidak punah. Lalu, bagaimana dengan Bahasa Aceh, akan munculkah para aktivis yang setia kepada bahasa ibunya?
* Jarjani Usman adalah mahasiswa program PhD Deakin University, Australia. Dosen IAIN Ar-Raniry.
sumber :serambi
0 comments:
Post a Comment